rza3z0iXwfrhP0Bo61a36W2lz3i7Fxgii3ShC0NK

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

#Bukan Tukang Coblos: Rakyat Hanya Jadi Kuda Politik

 

Foto: Adi

GUDATAnews.com, Bengkulu -Menjelang pemilu 14 Februari 2024 lalu, upaya pembajakan dengan tujuan memberikan karpet merah kepada kelompok tertentu dipertontonkan secara vulgar. Hasilnya adalah anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka berhasil menjadi wakil presiden melalui putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden. Tajuk politik ini ditertawakan oleh seluruh dunia.

 

Tidak selesai sampai disitu, pasca pemilihan presiden, oligarki tidak berhenti bermanuver, usaha selanjutnya adalah bagaimana meloloskan kandidat lain untuk menjadi calon gubernur dan walikota. Perubahan undang- undang pilkada yang dibahas secara kilat dengan tujuan mengubah syarat usia dan ambang batas dukungan pencalonan calon gubernur dan wakil gubernur, kurang dari tujuh jam mendapatkan persetujuan oleh mayoritas anggota DPR RI.

 

Namun dari semua manuver politik yang dilakukan oleh oligarki dengan agenda mengamankan kekuasaan kepada sekelompok yang dapat “diatur” rakyatlah sebenarnya yang menjadi penentu. Suara rakyat sebagai sebagai suara tuhan, dalam pergerakannya menjadi tirani mayoritas.

 

Hal ini senada dengan pernyataan James madison, presiden Amerika ke 4 yang menyatakan bahwa: “Suara rakyat seringkali bukanlah suara tuhan akan tetapi tirani mayoritas.”

 

Selanjutnya, pada 27 November 2024 diadakan pilkada serentak, rakyat dipaksa untuk memilih salah satu calon kepala daerah. Sama seperti pemilu, suara rakyat menjadi penting hanya dalam hitungan angka sebagai penentu kemenangan. Selebihnya, rakyat dianggap menyerahkan sepenuhnya semua urusan kerakyatan pada kepala daerah terpilih. Jika kepala daerah terpilih mengatur elemen-elemennya sesuai kepentingannya, maka persoalan- persoalan substansial kerakyatan (komunal) tidak menjadi pembicaraan utama. Dalam pengertian ini, suara rakyat bukan lagi tentang ide-ide, tetapi menjadi kendaraan tunggangan pemegang kuasa untuk sampai pada kepentingannya.

 

Kondisi politik tersebut diungkapkan juga oleh narasumber bincang cerdas Oky Alex Sartono, “Saat ini para kontestan politik praktis melihat rakyat hanya sebatas kuda politik untuk membantunya  memenangkan kontes, bukan sebagai manusia yang memiliki ide, aspirasi politik dan harapan mengembangkan hidupnya.”

 

Oky menjelaskan selama ini setelah calon kepala daerah menang dalam pemilukada, mereka melupakan suara- suara yang telah diberikan oleh rakyat. Para pemimpin terpilih tidak pernah mengajak mahasiswa, seniman dan Masyarakat biasa untuk terlibat dalam diskusi merencanakan program kerja

 

“Sudah saatnya rakyat menolak untuk menjadi tunggangan politik dan harus bersikap kritis dengan mengawal visi misi kepala daerah yang terpilih sehingga diharapkan posisi tawar rakyat meningkat,” tutur Oky.

 

Sikap kritis rakyat juga didukung oleh narasumber Rendi Saputra yang menyatakan bahwa rakyat harus bergerak dan bersuara terhadap kepala daerah terpilih agar posisi tawar mereka meningkat.

 

“Sudah saatnya rakyat meningkatkan posisi tawar dengan kepala daerah yang terpilih dalam pemilukada agar mereka tidak sekedar tunggangan politik,” kata Rendi.

 

Rendi mengungkapkan, salah satu yang membuat lemah posisi tawar rakyat karena mereka dimiskinkan seperti contohnya para petani yang kehilangan alat produksi yaitu tak memiliki lahan untuk bertani.

 

Bincang cerdas diadakan oleh sekumpulan masyarakat yang tergabung dalam #bukan tukang coblos. Acara yang juga menampilkan seni puisi dan seni musik itu dilaksanakan beberapa waktu lalu. (Rls)

Artikel Terkait

Artikel Terkait