rza3z0iXwfrhP0Bo61a36W2lz3i7Fxgii3ShC0NK

Cari Blog Ini

Laporkan Penyalahgunaan

Perjuangkan Hak untuk Hidup, 3 Petani Tanjung Sakti Mukomuko Bengkulu Tak Boleh Dihukum dan Dikenakan SLAPP

 


GUDATAnews.com, Bengkulu - Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) adalah gugatan hukum strategis terhadap partisipasi publik. “Definisi dari Black Law Dictionary, SLAPP adalah "klaim hukum yang diajukan oleh pengembang, eksekutif perusahaan, atau pejabat terpilih untuk menekan individu yang melakukan protes terhadap berbagai jenis proyek atau yang mengambil sikap yang merugikan pada isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik."

 

Petani Tanjung Sakti Mukomuko Bengkulu, Harapandi, Ibnu Amin dan Rasuli yang digugat PT. Daria Dharma Pratama (DDP) Mukomuko, tak boleh dihukum karena mereka memperjuangkan hak untuk hidup.

 

Petani Tanjung Sakti merupakan kumpulan petani yang berasal dari beberapa desa yang berbatasan dengan perkebunan PT DDP dengan situasi kekurangan tanah. Mereka berusaha untuk mencari tanah yang dikuasai oleh perusahaan namun tidak dirawat dengan baik. Pertemuan antara petani dengan tanah di sekitar Air Sule dimana lahan tersebut dikuasai oleh PT DDP namun tidak dirawat dengan baik.

 

Kasus gugatan terhadap 3 petani Tanjung Sakti ini telah melalui tahapan pada Pengadilan Negeri Mukomuko yang mendapati putusan tingkat pertama yang berisi ketiga petani dinyatakan bersalah telah mengahalang-halangi aktifitas perusahaan namun soal tuntutan ganti rugi dari PT DDP sebesar Rp. 7,2 milyar tidak dikabulkan oleh majelis hakim.

 

Kemudian 3 petani mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bengkulu yang mendapati putusan tingkat kedua yaitu dinyatakan bersalah dan dihukum membayar denda sebesar Rp. 3 milyar. Saat ini petani mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

“Tiga petani Tanjung Sakti sedang memperjuangkan hak untuk hidup dengan cara ingin berkebun di lokasi yang saat itu belum mempunyai kepastian hukum siapa pengelolanya,” kata Prof. Dr. Imam Mahdi, S.H., M.H.

 


Pendapat tersebut disampaikan Prof. Imam dalam dokumen Amicus Curiae pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, terkait gugatan PT. DDP Mukomuko terhadap 3 petani tanjung sakti dengan nilai gugatan sebesar 7,2 milyar rupiah.

 

Prof. Imam Mahdi, guru besar hukum Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno Bengkulu menjelaskan dalam dokumen amicus curiae bahwa gugatan dari PT. DDP merupakan perilaku SLAPP. Tindakan para petani merupakan partisipasi publik dalam penegakan hukum. Para petani mengetahui bahwa Masyarakat mendapatkan Surat nomor : 113/DD APE/III/2022 tertanggal 9 Maret 2022, yang dikeluarkan oleh PT. DDP yang pada pokoknya menyatakan PT DDP mengakui bahwa area divisi 5 dan divisi 7 Air Pedulang Estate berada di luar HGU PT DDP atau belum memiliki HGU.

 

Kemudian para petani yang tergabung dalam petani Tanjung Sakti menyurati Kementerian ATR/ BPN yang pada pokoknya melakukan pemberitahuan bahwa area divisi 5 dan 7 dalam kondisi belum jelas kepastian hukumnya dan menanyakan kepada kementerian ATR/ BPN tentang status tanah tersebut.

 

“Serangkaian Tindakan yang dilakukan para petani tersebut merupakan partisipasi publik dalam ruang penegakan hukum. Karena tanah tersebut tidak mempunyai kepastian hukum yang jelas, maka dengan kemandirian masyarakat dan para petani melakukan serangkaian tindakan tersebut,” ujar Prof Imam.

 

Berdasarkan jurnal berjudul ‘Partisipasi Masyarakat Dalam Upaya Penegakan Hukum Peraturan Daerah persepektif Teori Negara Hukum’ menjelaskan bahwa “Partisipasi publik dalam penegakan hukum adalah upaya masyarakat untuk membantu proses penegakan hukum dan perlindungan hukum.” Oleh karenanya tindakan partisipasi publik dalam konteks ini merupakan tindakan yang konstitutional dan karenanya tidak boleh dikenakan pidana.(Rls)

Artikel Terkait

Artikel Terkait