GUDATAnews.com,
Bengkulu - Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai telah melindungi ketidakpatuhan
PT Tenaga Listrik Bengkulu yang merupakan pengelola Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) batubara dalam pengelolaan lingkungan.
“Buktinya sudah empat kali diadukan warga dan sudah mendapat
sanksi administrasi tapi tidak ada perubahan dalam pengelolaan lingkungan,
tetap tidak patuh,” kata Fahmi Arisandi, Akademisi Universitas Muhammadiyah
Bengkulu saat seminar bertema “Peran dan partisipasi para pihak dalam
pemantauan dan pengaduan ketidakpatuhan korporasi” yang digelar Kanopi Hijau
Indonesia, Selasa 24 September 2024.
Fahmi menegaskan bahwa lingkungan yang baik dan sehat adalah
hak asasi setiap manusia yang harus dipenuhi dan dijamin negara, tanpa harus
membuat pengaduan apalagi menggugat ke pengadilan.
Dalam seminar itu, Ali Akbar Ketua Kanopi Hijau Indonesia
memaparkan temuan hasil pemantauan dan pengaduan terhadap PLTU Bengkulu yang
sudah mendapat sanksi sebanyak empat kali dari KLHK.
Sanksi pertama atas ketidakpatuhan PT Tenaga Listrik Bengkulu
(TLB) terhadap amanat dokumen pengelolaan lingkungan dalam ANDAL, RKL-RPL
adalah pembuangan limbah air bahang tanpa izin ke laut dalam kawasan Pantai
Teluk Sepang dan menerima sanksi administrasi pada akhir April 2020.
Kedua, pengaduan tentang air bahang yang berbau menyengat ke
laut lepas pada November 2020 dan telah dijatuhi sanksi administrasi pada Maret
2021. Pengaduan ketiga tentang kolam air bahang yang jebol pada Agustus 2022
dimana KLHK mengirimkan surat balasan yang menerangkan bahwa PT TLB telah
diberikan sanksi administrasi dan paksaan pemerintah pada November 2022.
Pengaduan keempat tentang pembuangan limbah Fly Ash dan
Bottom Ash (FABA/abu sisa pembakaran batubara) di Taman Wisata Alam (TWA) Pantai
Panjang-Pulau Baai, yang diadukan pada 24 Maret 2023. KLHK mengirimkan surat
balasan yang menerangkan bahwa PT TLB telah diberikan surat peringatan pada
Juni 2023.
“Anehnya, salinan dokumen sanksi administrasi yang dijatuhkan
KLHK kepada PT TLB sebagai pengelola PLTU Teluk Sepang tidak diberikan kepada
warga yang melapor,” tukas Ali.
Selain itu, ketidakpatuhan tersebut juga masih berlangsung
hingga saat ini sehingga memunculkan pertanyaan apakah proyek PLTU mendapat
kekebalan dalam penegakan hukum?
Akibat ketidakpatuhan itu, saat ini warga Teluk Sepang telah
merasakan dampak kesehatan dan ekonomi di mana dari riset yang dilakukan
sejumlah akademisi menemukan 85 warga Bengkulu harus mengeluarkan biaya berobat
sekitar Rp36 juta akibat kondisi lingkungan yang buruk.
Para nelayan juga mengalami penurunan hasil tangkapan karena
wilayah jelajah melaut semakin jauh yang mengharuskan mereka mengeluarkan modal
lebih besar untuk membeli bahan bakar minyak.
Lovi, tokoh masyarakat Kelurahan Teluk Sepang Kota Bengkulu,
lokasi berdirinya PLTU batubara yang mempertanyakan ketegasan pemerintah
menertibkan pelanggaran pengelolaan lingkungan PLTU Teluk Sepang.
“Sekarang, abu FABA itu diberikan dan disebarkan untuk bahan
timbunan kepada masyarakat yang membutuhkan, padahal itu abu beracun,” ungkap
Lovi.
Ia mempertanyakan masa depan anak-anak dan remaja di
kelurahannya yang setiap hari menghirup polusi yang dihasilkan PLTU Teluk
Sepang.
Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Adrizal juga
menyampaikan kondisi yang hampir serupa di mana PLTU Ombilin di Sawah Lunto
Sumatera Barat telah mendapat sanksi administrasi sebanyak tiga kali tapi tidak
ada tindakan lanjutan dari KLHK.
“Akibat ketidakpatuhan pengelolaan lingkungan, sebanyak 66
persen murid kelas 6 SDN 19 Sijantang yang berlokasi di sekitar PLTU Ombilin
menderita gangguan paru seperti bronkitis kronis dan TB paru. Data ini
didapatkan langsung dari pemeriksaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2017,”
kata Adrizal.
Ia mengatakan, pengelola PLTU Ombilin dalam hal ini PT PLN
telah dijatuhi sanksi administrasi oleh KLHK bahkan diberikan proper hitam,
tetapi sampai sekarang sanksi tidak diterapkan dengan dalih sanksi diperpanjang
hingga tahun 2025.
Kondisi ini membuat LBH Padang mengambil langkah menggugat
KLHK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena tidak mengambil
tindakan yang tegas dan terukur sesuai peraturan perundang-undangan terhadap
pelanggaran pengelolaan lingkungan PLTU Ombilin.
Sementara narasumber dari Direktorat Pengaduan, Pengawasan
dan Sanksi Administrasi (PPSA) KLHK, Eka Prasetyo menjelaskan, bahwa dokumen
sanksi administrasi yang dijatuhkan kepada korporasi merupakan informasi yang dikecualikan.
Eka pun hanya menjelaskan tahapan proses pengaduan dari warga atas
ketidakpatuhan perusahaan menjalankan peraturan pengelolaan lingkungan.
Sementara Dody Novran, Fungsional Pengendali Dampak
Lingkungan DLHK Provinsi Bengkulu, menyatakan pihaknya tidak menerima salinan
dokumen sanksi administrasi yang dijatuhkan KLHK kepada PLTU Teluk Sepang.
“Kami hanya posko pengaduan di daerah, sementara penindakan adalah kewenangan KLHK,” tutup Dody.(Rls)