GUDATAnews.com,
Bengkulu - Kanopi
Hijau Indonesia menemukan 4 unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang
dibangun oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dengan dana puluhan
miliar, kini dalam kondisi terbengkalai dan tidak bermanfaat.
Beberapa perlengkapan di PLTS itu bahkan telah hilang raib
entah kemana. Hal yang lebih miris lagi adalah kondisi solar panel telah
diselimuti oleh semak belukar.
Gutomo, Kepala Desa Gajah Makmur Kecamatan Malin Deman
Mukomuko menyatakan bahwa dia telah menyerah dengan sumber energi listrik
tenaga surya yang ada di desa mereka.
"Keberadaan peralatan yang terbengkalai itu justru
mengganggu aktivitas pembangunan kami disini, lahan yang seharusnya dapat
digunakan untuk hal yang lain, sekarang ini tidak bisa kami gunakan," kata
Gutomo.
Sementara di tiga lokasi lainnya yaitu, PLTS Wonosalam di
Sumber Makmur Kabupaten Mukomuko, PLTS Banjarsari dan PLTS Kahyapu di Pulau
Enggano Bengkulu Utara nasibnya juga tak berbeda.
Upaya warga untuk mencoba mempertahankan sumber energi ini
akhirnya terkendala dengan biaya dan pengetahuan.
"Kami sudah mengupayakan sumbangan warga agar PLTS Di
Kahyapu ini tetap hidup. Sumbangan warga ini digunakan untuk membeli baterai
dan biaya pengelolaan. Kurangnya pengetahuan kami atas sumber energi ini
membuat akhirnya kami menyerah," ungkap Siswandi Sekretaris Desa Kahyapu
yang juga tim teknisi PLTS Kahyapu.
Warga Kahyapu juga telah melakukan beberapa tindakan dengan
harapan sumber energi ini tetap hidup beberapa tindakan yang telah dilaksanakan
antara lain adalah melakukan perbaikan pada instalasi yang digigit tikus dengan
memanggil teknisi dari Jakarta, kedua terjadi kerusakan pada box panel yang
terbakar dengan memanggil teknisi dari Bengkulu.
Kemudian akibat dari pemakaian, performa penyimpanan baterai
semakin menurun maka desa menambah 3 baterai baru dengan kapasitas lebih
rendah, di tahun 2023 pihak desa menambah baterai bekas milik warga namun PLTS
tidak bisa beroperasi lagi.
Kanopi Hijau Indonesia melakukan survei kondisi pembangkit
listrik energi bersih ini dengan tujuan untuk mengetahui manfaat sumber energi
tersebut bagi komunitas dan sejauh mana perhatian pemerintah terhadap sumber
energi bersih yang dibangun dengan biaya yang cukup besar tersebut.
"Kami menemukan bahwa sumber energi ini sebenarnya
sangat bermanfaat untuk penerangan dan perekonomian, tapi saat ini kondisinya
rusak dan terbengkalai, rata-rata hanya digunakan selama 2 tahun," kata
Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar.
Di Pulau Enggano, listrik sangat tergantung dengan pasokan
bahan bakar dari Kota Bengkulu sehingga keberadaan PLTS tersebut sangat vital.
Sementara di Gajah Makmur yang berada di wilayah berbatasan
dengan hutan, penerangan seringkali padam dan hal ini menjadi makanan
sehari-hari warga setempat.
Selain untuk penerangan, PLTS mendukung aktivitas
perekonomian warga. Khususnya di Pulau Enggano pada sektor perikanan, listrik
digunakan untuk ketersediaan es batu.
"Berdasarkan hasil survei tersebut, kami melihat bahwa
atensi pemerintah terhadap pembangkit listrik yang bersumber dari energi bersih
ini masih sangat rendah," kata Ali.
Ketersediaan sumber energi listrik sepenuhnya menjadi
tanggung jawab PLN, cara berpikir seperti ini tentu saja sesat.
Karena pertama, ketika sumber energi listrik sepenuhnya
dibebankan kepada satu pihak maka tingkat kerentanan menjadi tinggi. Hal ini
dikarenakan PLN yang terbiasa dengan sistem listrik terpusat. Kerusakan pada
satu titik akan berdampak kepada lokasi lain.
Kedua, komunitas akan sangat bergantung kepada PLN dalam
menjalankan aktivitas ekonomi yang memerlukan sumber energi listrik.
Ketiga, terlihat secara nyata, dengan terbengkalainya sumber
energi bersih di empat lokasi ini menunjukan bahwa pemerintah masih belum
serius menjalankan program transisi.
Atas dasar situasi ini sudah selayaknya pemerintah pemerintah
memperbaiki sumber energi yang ada sebagai komitmen terhadap program transisi
energi.
"Jika tidak maka pantaslah negara ini disebut NATO (No
Action Talk Only)," tukasnya.(Rls)