GUDATAnews.com,
Bengkulu - Kanopi
Hijau Indonesia mendesak MPR RI untuk
menolak Laporan Kinerja Presiden Jokowi dalam aksi yang digelar di Simpang Lima
Kota Bengkulu pada Jumat 16 Agustus 2024.
"Jika tidak, maka kami meyatakan bahwa laporan ini
adalah laporan kinerja Presiden kepada MPR RI saja dan bukan merupakan laporan
kepada rakyat Indonesia,’’ kata Hosani Ramos Hutapea selaku Koordinator Aksi.
Desakan penolakan Laporan Presiden Jokowi karena masyarakat
sipil melalui Mahkamah Rakyat Luar Biasa telah memutuskan Presiden Jokowi
bersalah atas sembilan nawadosa.
Nawadosa Jokowi tersebut yakni pertama, perampasan ruang
hidup dan penyingkiran masyarakat.
Di Bengkulu, perkebunan skala besar sawit dan tambang
batubara telah merampas ruang hidup rakyat. Salah satunya tambang batubara di
Desa Pondok Bakil Kecamatan Ulok Kupai Kabupaten Bengkulu Utara.
Tambang batubara ini, telah menyebabkan 3 sumber air bersih
yaitu sungai Sepage, mata Air Belukar dan Anak Sungai Ketahun hancur. Lalu masyarakat kehilangan sawah akibat proses
pertambangan diperparah. Bahkan air Sungai Bengkulu menjadi ancaman kala musim
penghujan karena di hulu telah hancur akibat pertambangan batubara.
Nawadosa kedua yaitu kekerasan, persekusi, kriminalisasi dan
diskriminasi.
Dalam kurun waktu 2022-2024, ada 34 orang petani menjadi
korban kekerasan korporasi PT Daria Dharma Pratama. Akibat berkonflik dengan
perusahaan perkebunan ini, sebanyak 30 orang petani menjadi korban
krinimalisasi.
Nawadosa ketiga adala kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan
impunitas, keempat yaitu komersialisasi, penyeragaman, penundukan sistem
pendidikan.
Kelima, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan tindakan
perlindungan koruptor.
Nawadosa keenam adalah eksploitasi sumber daya alam dan
program solusi palsu untuk krisis iklim.
Eksploitasi besar-besaran batubara telah mengancam ekosistem
penting, salah satunya Bentang Alam Seblat yang sudah dibebani izin tambang
batubara PT Inmas Abadi.
Di sektor hilir pemerintah terus menggenjot proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menjadi kontributor utama emisi pemicu
krisis iklim.
Di Pulau Sumatera ada 33 unit PLTU yang meracuni udara yang
dihirup masyarakat mulai dari Aceh hingga Lampung, bahkan pemerintah masih berambisi
menambah 14 PLTU baru di pulau ini.
Khusus di Bengkulu, proyek PLTU batubara Teluk Sepang
mengakibatkan 81 orang terserang penyakit kulit menahun dan gangguan pernafasan
akut.
Transisi energi harus bertumpu pada penutupan PLTU batubara
dan beralih ke pembangkit energi terbarukan.
Nawadosa ketujuh yaitu sistem kerja yang memiskinkan dan
menindas pekerja, kedelapan adalah pembajakan legislasi dan nawadosa kesembilan
yaitu militerisme dan militerisasi.
Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar menyatakan, selama 10
tahun Jokowi menjadi presiden, terbukti tak menyelesaikan inti persoalan rakyat
atas sumber penghidupan.
Ia menambahkan, justru rakyat berhadapan dengan korporasi,
baku pukul antar rakyat. Sistim peradilan mempertontonkan drama menakutkan
untuk demokrasi. Atas nama investasi,
satu persatu rakyat menjadi korban atas situasi ini.
“Atas situasi ini, diperlukan kekuatan kolektif rakyat untuk
merebut dan mempertahankan sumber penghidupanya," tegas Ali Akbar. (Rls)