GUDATAnews.com,
Bengkulu - Jalalludin (78) tokoh masyarakat di
Kelurahan Teluk Sepang Kecamatan Kampung Melayu Kota Bengkulu, dengan lantang
berkata, ’’Kami adalah korban yang
pertama kali menerima dampak kerusakan lingkungan akibat polusi batubara
dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Teluk Sepang. Kami menolak dan menuntut PLTU Batubara Teluk
Sepang harus ditutup!"
Meski telah berusia 78 tahun, tak menyurutkan semangat
Jalaludin untuk berada di garis depan perlawanan terhadap perusak lingkungan,
pelaku penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia.
‘’Indonesia saat ini udaranya sudah kotor. Tugas kalian
semuanya penerus bangsa, kalau kami mungkin besok lusa sudah tidak ada lagi.
Teruskan perjuangan menyelamatkan lingkungan. Sekarang ini keadilan hanya
sekedar angan bayangan, tidak ada yang
menjadi kenyataan,’’ pesan Jalalludin.
Perjuangan Jalalludin dimulai tahun 2017, sejak ia mendengar
akan ada PLTU berbahan bakar batubara
didirikan di Teluk Sepang. Sejak saat itu hampir tidak ada aktivitas perlawanan
terhadap adanya PLTU batubara Teluk Sepang yang dilewatkannya. Belajar, aksi
lapangan, sampai menjadi pembicara di berbagai media dilakoninya.
"Sayo salah satu penggugat!" tegas Jalalludin
ketika penentuan para penggugat izin lingkungan PLTU batubara Teluk Sepang
dilaksanakan. Tidak ada sidang tanpa kehadirannya.
Ketika hakim menyatakan gugatan terhadap izin lingkungan
dinyatakan kalah, Jalaludin pun menyatakan, "Ini adalah bukti ketika yang
berpunya dan berkuasa bersatu. Mereka tidak peduli akan keselamatan warga,
utamanya warga Teluk Sepang yang menderita sakit dan kehilangan mata
pencaharian.’’
Jalalludin telah berpulang, tepatnya tanggal 27 Februari 2024
silam setelah mengalami sesak nafas lebih kurang 2 minggu. Meski Jalalludin
telah tiada, namun semangat perjuangannya menolak tambang batubara dan PLTU
Teluk Sepang harus tetap harus diteruskan oleh generasi muda.
Di wilayah lain Reza Yuliana atau Ejak (17) warga Desa Muara
Maung Kecamatan Merapi Barat Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan juga
aktif dalam Yayasan Anak Padi yang berupaya menyelamatkan Sungai Kungkilan yang
kondisinya hancur akibat aktivitas pertambangan batubara.
Yayasan Anak Padi akan membuktikan bagaimana PT. Kasih Karya
Agung, PT. Bumi Merapi Energi, PT. Bara Alam Utama dan PT. Muara Alam Sejahtera
menghancurkan Sungai Kungkilan.
Selesai ekspedisi, ketika Ejak dan Anak Padi sedang kampanye,
tiba-tiba banjir bandang sungai Kungkilan terjadi. Setidaknya 56 kepala
keluarga di desa Muara Maung Lahat mengalami kerugian.
‘’Kebun, sawah, kolam dan rumah terendam lumpur berbau.
Langsat mati, padi mati, ikan hanyut dan rumah terendam lumpur,’’ ungkap Ejak.
Bahkan ikan Lemuti yang hidup di sungai daerah setempat kini
mulai langka dan terancam punah akibat pencemaran limbah batubara.
Ejak juga menerima cerita Sarpendi, warga yang menjadi korban
dari aktivitas pertambangan batubara. Dulunya Sarpendi bekerja sebagai pengatur
arus lalu lintas truk angkutan batubara dan setiap hari menghirup debu batubara
yang kotor. Akibatnya, Sarpendi yang dulunya pernah bekerja sebagai
Linmas, kini menderita sakit paru-paru hitam
dan menjadi penggangguran.
Jalalludin dan Reza Yuliana, dua aktivis lintas generasi.
Mereka bertemu, berdiskusi dan saling bercerita. Mereka berdua adalah fakta
bahwa umur bukanlah halangan untuk menjadi bagian agar berguna bagi orang
banyak, tidak juga Jarak.
Kisah perjuangan Jalalludin dan Reza Yuliana tersebut
divisualisasikan oleh Kanopi Hijau Indonesia ke dalam bentuk film berjudul
PERLAWANAN LINTAS GENERASI.
Ali Akbar, Ketua Kanopi Hijau Indonesia berkata, ’’Kita bisa
melihat bagaimana orang tua berada di sekitar pertambangan batubara dan PLTU.
Saat mereka terkena penyakit pernapasan, dan hal ini bisa dicari hubungannya
antara beroperasinya tambang batubara dan beroperasinya PLTU batubara.’’
Ali menjelaskan, ketika pertambangan batubara melepaskan debu
yang sangat banyak menghujani orang tua, sementara pada bagian hilir PLTU
batubara melepaskan abu, sementara mereka juga melepaskan senyawa kimia seperti
nitrogen oksida dan sulfur dioksida. Itu semua merupakan biang dari penyakit
pernapasan.
‘’Kelompok rentan yakni anak-anak juga terkena penyakit kulit
yang mewabah. Ini tidak hanya terjadi di Bengkulu dan Sumatera Selatan, tapi juga terjadi di
Sumatera Utara, Jambi, dan beberapa wilayah lain dimana orang-orang yang tinggal
di sekitar area pembangkit. Warga yang
tinggal di sekitar pertambangan mengalami penderitaan atau mengalami kesakitan
yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan dan PLTU batubara,’’ ungkap Ali.
Ali menambahkan, pada sisi ekonomi, dengan beroperasinya
tambang dan PLTU batubara itu membuat tercemarnya Sungai Lematang. Itu pasti
akan berpengaruh terhadap nelayan-nelayan air tawar yang selama ini
mengandalkan ekonomi dari keberadaan ikan maung dan beberapa ikan lainnya di
wilayah Sungai Lematang.
‘’Begitupun dengan di Teluk Sepang, pembuangan limbah air
bahang yang melebihi dari 2 derajat dari suhu normal air laut itu juga akan
memberikan pengaruh. Peningkatan 1,5 derajat, ikan akan menjauh, sementara
peningkatan 2 derajat, terumbu karang akan mati. Hal-hal seperti ini yang
selama ini tidak menjadi perhatian dari para pihak,’’ tegas Ali Akbar.
Sementara itu, launching film berjudul Perlawanan Lintas
Generasi dihadiri ratusan orang dan berlangsung di Aula Ahmad Dahlan Kampus IV
Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) Jalan Adam Malik Kota Bengkulu pada
Jumat 31 Mei 2024.
Sebelum agenda menonton film, dilaksanakan diskusi yang
dipandu Anom Prihantoro (Kepala LKBN Antara Bengkulu) menghadirkan Reza Yuliana
(Posko Anak Padi), Harianto (Posko Lentera), Ahmad Ashov Birry (Bersihkan Indonesia), Susilo Wulan
(Akademisi), Rusman Tobyakta Siregar (Presiden BEM UMB), Robby Fachrul Rozi
(Penggiat Film Bengkulu, Rafflesia Motions Films), dan Ali Akbar (Kanopi Hijau
Indonesia).
‘’Polusi tambang batubara dan polusi limbah PLTU telah
mengakibatkan penurunan kualitas kesehatan bagi warga Teluk Sepang. Udara dan
air di lingkungan mereka sudah tidak aman. Bila terus dibiarkan akan terjadi
resiko besar. Setelah saat ini mereka menderita sakit kulit dan ISPA, ke depan
warga Teluk Sepang diperkiraan akan menderita sakit paru-paru,’’ ungkap Susilo
Wulan, akademisi kesehatan.
Ahmad Ashov Birry
dari Bersihkan Indonesia menyatakan,
‘’Seharusnya negara harus bertanggung jawab menjamin atas hak warga untuk
mendapatkan hidup yang sehat dan sejahtera. Kita semua wajib mengkoreksi negara
karena bila transisi energi ke arah energi bersih gagal maka lingkungan akan
makin rusak parah.’’
Setelah mengetahui kenyataan tersebut, Rusman Tobyakta
Siregar, Presiden BEM UMB mengajak para mahasiswa untuk membantu warga Teluk Sepang
agar bisa menutup PLTU Teluk Sepang sehingga kehidupan mereka dan semua
warga di Kota Bengkulu bebas dari polusi
limbah PLTU Teluk Sepang.
Di acara yang sama, Robby Fachrul Rozi, Penggiat Film
Bengkulu, Rafflesia Motions Films, berkomentar, ‘’Film Perlawanan Lintas
Generasi ini sangat bagus untuk ditonton.
Film ini membuka sebuah realita kehidupan yang ada di masyarakat, dampak
negatif pertambangan batu bara, PLTU khususnya untuk masyarakat sekitar
kawasan.’’
Namun demikian, menurut Robby, dari sisi penceritaan ada klimaks film yang
belum tersampaikan dengan sempurna. (Rls)