GUDATAnews.com, Kota
Bengkulu - Akibat
kurikulum pendidikan di Indonesia belum diupdate, tidak semua pelajar dan
mahasiswa di Kota Bengkulu mengetahui bahwa batubara sebagai salah satu
penyebab krisis iklim yang berdampak buruk bagi planet Bumi.
Manajer Sekolah Energi Bersih Kanopi Hijau Indonesia Hosani
menyampaikan, data tersebut dihimpun berdasarkan hasil kuesioner yang
disebarkan terhadap 187 siswa SMP Sint Carolus Bengkulu dan 37 mahasiswa
jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) dalam kegiatan
Sekolah Energi Bersih #2 di lokasi masing-masing pada beberapa waktu lalu.
‘’Sebanyak 70 % atau 131 siswa SMP Sint Carolus Kota Bengkulu
Provinsi Bengkulu tidak mengetahui bahwa batubara sebagai salah satu penyebab
krisis iklim yang berdampak buruk bagi planet Bumi. Hanya 30% atau 56 siswa
yang mengetahui bahwa batubara salah satu penyebab krisis iklim,’’ ungkap
Hosani.
Sementara itu, Hosani menambahkan, sebanyak 32,4 % atau 12
mahasiswa jurusan Sosiologi UMB tidak mengetahui bahwa batubara sebagai salah
satu penyebab krisis iklim yang berdampak buruk bagi bumi, sebanyak 64,8 % atau
24 mahasiswa mengetahui batubara salah satu penyebab krisis iklim di bumi, dan
2,7 % atau 1 mahasiswa tak memberi jawaban.
‘’Sebagian besar pelajar dan mahasiswa mengetahui bahwa hanya
sampah yang menjadi penyebab krisis iklim di bumi sesuai dengan materi
pelajaran yang mereka terima,’’ kata Hosani.
Tidak hanya siswa SMP, mayoritas dari 881 anak muda yang
dijangkau oleh Sekolah Energi Bersih tidak mengetahui terjadinya krisis iklim
adalah akibat penggunaan batubara. Situasi ini bisa menjadi sebuah refleksi
bahwasannya anak muda di tempat lain juga mengalami keterbatasan informasi.
Menurut data Badan Energi Internasional (IEA) yang dikutip
oleh Greenpeace mengungkapkan bahan bakar fosil Batubara menyumbang 44% dari
total emisi CO2 global. Pembakaran batubara adalah sumber terbesar emisi gas
GHG (greenhouse gas), yang memicu perubahan iklim.
Diikuti dengan penyebab lainnya seperti 12% dari sektor
pertanian, 6,6% dari proses industri, 3,5% dari sampah dan 2,9% dari penggunaan
lahan dan sektor kehutanan.
Disisi lain laju krisis iklim saat ini telah mencapai pada
titik kritis akibat dari emisi yang terus meningkat. Akibatnya, Bumi sekarang
1,1°C lebih hangat daripada di akhir tahun 1800-an. Dekade terakhir (2011-2020)
adalah rekor terpanas. Beberapa ilmuwan mengatakan jika terus menggunakan
energi batubara, ambang batas suhu bumi di 1,5⁰ C akan terlampaui di tahun
2030.
Situasi tersebut didukung pernyataan Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio
Guterres bahwa saat ini dunia telah memasuki era pendidihan global.
"Perubahan iklim itu nyata dan mengerikan. Dan ini baru
permulaan. Era pemanasan global telah berakhir, sementara era pendidihan global
telah dimulai," ungkap Antonio Guterres.
Dalam kurun waktu 6 hingga 10 tahun kedepan anak muda yang
saat ini sedang di bangku SMP, SMA dan Perguruan Tinggi sedang di masa
produktif.
Ali Akbar Ketua Kanopi Hijau Indonesia menjelaskan situasi
tidak sampainya informasi krisis iklim kepada anak muda di Bengkulu menjadi
potret bahwa tidak bertumbuh dan berkembangnya materi pendidikan di Indonesia.
Hal ini menjadi bentuk pemerintah tidak menganggap penting krisis iklim bagi
pengetahuan anak muda.
“Seharusnya negara, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan
Budaya Republik Indonesia bertanggung jawab. Negara sudah sepatutnya berpikir
progresif daripada sekarang dalam proses diseminasi pengetahuan yang
notabenenya berkaitan dengan masa depan penerus bangsa” tegas Ali Akbar
Ia juga menambahkan bahwa negara memiliki kekuatan besar yang
mampu menjangkau seluruh stakeholder pendidikan di pelosok indonesia untuk
menanamkan informasi krisis iklim dan transisi energi yang bersih, adil dan
berkelanjutan.
‘’Bila negara tidak aktif dalam mengantisipasi krisis iklim
di bumi yang darurat ini maka generasi muda kedepan akan hidup dalam ancaman
bencana yang selalu terjadi dan makin
parah sehingga menimbulkan banyak korban jiwa,’’ demikian Ali Akbar. (Rls)