Judul Buku : Antologi Cerpen Rindu Tanpa Muara
Penulis : Septi
Nengsih, dkk
Penerbit. : Oksana
Publisher, Sidoarjo, Jawa Timur
ISBN. : 978-602-552-894-1
Editor :
Herman Suryadi, S.Pd., M.Pd.
Cetakan Pertama: November 2018
Jumlah Halaman: 267 hal.
Buku antologi cerpen dari Bengkulu ini diberi judul
"Rindu Tanpa Muara" karya Septi Nengsih (Seluma) yang dipilih oleh
Bengkel Penulisan HaeS dan diambil dari salah satu judul cerpen yang dimuat
dalam buku tersebut. Cerpen tersebut dipilih tentu saja atas dasar karena isi
cerpennya cukup bagus, gaya bertuturnya elok, alur ceritanya mantap, dan dapat
menjadi daya tarik pembaca terhadap buku antologi cerpen ini.
Dipandang dari sisi judulnya, tentu saja sudah mengundang
sejumlah pertanyaan. Rindu seperti apakah yang tanpa muara? Ke mana muaranya
rindu? Rasa ingin tahu pembaca dibuai oleh cerpen ini. Itulah sebabnya judul
cerpen tersebut dipilih untuk menghiasi judul buku antologi cerpen ini.
Ada keunikan yang terpendam oleh tokoh Awan pada masa lalu
dengan tokoh Rindu. Tokoh Awan meninggalkan dusun yang menjadi kampung
halamannya (Seluma) tidak lain untuk meneruskan perkuliahan. Empat tahun
kuliah, Awan sudah melupakan masa lalunya. Hingga suatu hari ingatan itu
kembali membayang untuk menjemput cintanya dengan Rindu. Meskipun di tengah
perjalanan panjang cinta mereka, ada Devi yang menjadi pengganggu. Devi ingin
merebut cinta Awan. Walaupun rencana tersebut tidak pernah berhasil.
Tatkala Awan hendak mendatangi temannya Jun yang juga teman
lama dan paling tahu tentang Awan dan Rindu, Awan mengalami kecelakaan. Hingga
harus dirawat di rumah sakit. Cintanya dengan Rindu pun untuk kembali setelah
menjadi sarjana tidak kesampaian. Dalam waktu yang hampir bersamaan, ada pula
kabar bahwa Rindu tewas akibat bunuh diri, setelah melihat foto Awan yang
kecelakaan dibawa Devi. Mereka akhirnya tidak bisa bertemu di dunia fana. Cara
bercerita cerpen ini, kadangkala menggunakan waktu maju mundur (kombinasi) dan
maju lagi. Sehingga karya cerpenis asal Seluma ini enak untuk dibaca. Selain
itu, si cerpenis piawai mengantarkan pembaca dengan percakapan antara Awan yang
sakit dengan ruh Awan yang menyaksikan jasadnya di rumah sakit.
Ada juga para pengarang lain yang turut ambil bagian mengisi
antologi cerpen ini. Mereka adalah Afriyanti Susanti, Agus Riyanto, C.N. Indah
Kartika Dewi, Dewi Astuti, Driya Suryo Handayani, Edi Suhanda, Erwan, Indah
Kurniati, Luluk Khairiyah, Maysara Muchtar, Neto Kusboyo, Nurlisna,
Nursyamsiah, Ranny Pamila Krisnawati, Riri Chasanora, RR Sri Wulandari, Septika
Amalia Umaro, Yuliani, dan Yuliniarti. Uniknya 20 pengarang cerpen ini umumnya
berprofesi sebagai pendidik. Ada yang menjadi pendidik di jenjang setara SD,
SMP, dan SMA. Sebagian kecil ada yang masih pelajar.
Berbagai latar kisah dan tema jenis cerita diangkat dalam
antologi cerpen ini. Mulai dari kisah-kisah di lingkungan sekolah, lingkungan
sosial, tempat bekerja, keluarga, cinta, suasana kepedihan, suka dan duka,
serta pertemuan jodoh yang sebagian besar bersumber dari pengalaman. Buku ini
menarik untuk dibaca dan diharapkan menjadi sarana pengembangan program
literasi di sekolah dan di masyarakat. Selain itu juga, secara khusus buku ini
dapat memotivasi tradisi gemar membaca dan menulis cerita pendek untuk
menginspirasi generasi bangsa ini agar menjadi generasi yang tangguh dan
tanggap serta tetap melestarikan budaya lokal daerah.[ ]
Penulis Resensi: Yovi Guantara Tanjung
Sumber Data dan Gambar: Dokumentasi Pribadi Yovi Guantara
Tanjung. (Red)