GUDATAnews.com,
Bengkulu - Pengerukan
dan pembakaran batubara di tingkat tapak maupun secara global adalah biang
kerok krisis iklim. Saat ini krisis iklim mengakibatkan 828 juta manusia di
dunia menghadapi ancaman kelaparan.
Data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan 115
pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat
naiknya permukaan air laut. Sementara data yang diolah Kanopi Hijau Indonesia
dari berbagai sumber menyebutkan 27.175 hektare daratan Pulau Sumatera hilang
dalam kurun tiga tahun terakhir.
Pengerukan batu bara milik PT Injatama di Desa Pondok Bakil
Kabupaten Bengkulu Utara membuat daftar panjang penderitaan rakyat mulai dari
kehilangan sumber air bersih, sumber air irigasi, kehilangan lahan pangan,
hingga akses jalan penghubung antar-desa dikeruk untuk mengambil batubara di
bawahnya membuat desa ini terancam terisolir.
Saat hujan tidak turun beberapa hari saja, sumur – sumur yang
menjadi tumpuan warga mendapat air bersih mengalami kekeringan.
“Jika pemerintah tidak menindak pelanggaran –pelanggaran yang
terjadi akibat pengerukan batubara oleh PT Injatama, maka dipastikan kami
masyarakat Pondok Bakil akan terisolasi, tertimbun dan hanyut dibawa air Sungai
Ketahun. Ditambah curah hujan saat ini tinggi akan mempercepat hal buruk tersebut
terjadi di desa kami,” kata Yusmanilu, warga Desa Pondok Bakil yang juga Ketua
Poko Parasakti, komunitas yang didirikan warga melawan kerusakan lingkungan.
Di sektor hilir, batubara dibakar sebagai bahan bakar
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Teluk Sepang, Kota Bengkulu. Meski baru
melewati uji coba dan mulai menghasilkan listrik, sederet dampak buruk telah
terjadi.
Bertepatan dengan uji coba PLTU, tidak kurang dari 28 ekor penyu mati dan bangkainya ditemukan terdampar di sekitar Pantai Teluk Sepang. Lalu pada Juli 2022, kolam pembuangan limbah air bahang jebol, membuat air dengan suhu tinggi langsung mengalir ke laut. Lalu pada Oktober 2022 sebanyak 39 orang warga Kelurahan Teluk Sepang, Bengkulu mengalami penyakit kulit yang sulit sembuh yang diduga diakibatkan terpapar hujan asam dari abu PLTU batubara.
Pengurus Posko Lentera Teluk Sepang Yesi Sepriani mengatakan
beban warga Teluk Sepang terus bertambah setelah sebelumnya berjibaku dengan
jalan berlubang dan berdebu akibat lalu lalang kendaraan pegangkut batu bara.
“Kini ditambah dengan polusi PLTU yang membuat kami menderita
penyakit kulit dan batuk-batuk. Nasib nelayan Teluk Sepang juga saat ini sangat
terancam karena harus berlayar jauh ke tengah laut, karena populasi ikan
menurun,” katanya.
Kondisi hampir sama terjadi juga di Lahat, Sumatera Selatan.
Kecelakaan lalu lintas kerap terjadi di jalan negara diakibatkan aktivitas
angkutan batubara. Masyarakat kehilangan ruang hidup dan dipaksa hidup dengan
lingkungan yang rusak akibat dikepung 4 perusahaan pertambangan batubara dan 2
PLTU barubara.
Setiap saat, debu dan abu mengepung rakyat. Banjir besar di
Sungai Kungkilan pada 2019 mengakibatkan 36 kepala keluarga di Desa Muara Maung
menanggung kerugian yang belum dipulihkan hingga kini. Di 19 desa di Kecamatan
Merapi Barat, sebanyak 1.706 warga terkena penyakit ISPA.
Manager Kampanye Yayasan Anak Padi, Reza Yuliana mengatakan
rakyat Lahat sudah terlalu menderita akibat industri batu bara. “Kami mendesak
pemerintah segera menutup PLTU batubara karena kami tidak mau lagi menanggung
derita akibat ulah oligarki,” katanya.
Di sisi lain, Pulau Sumatera memiliki potensi energi
terbarukan yang melimpah. Misalnya Provinsi Bengkulu, berdasarkan data
Kementerian ESDM memiliki 7.297 Megawatt (MG) energi terbarukan dari matahari,
angin dan air sedangkan yang baru dimanfaatkan saat ini hanya 259 MW. Potensi
energi terbarukan di Sumatera Selatan justru jauh lebih besar mencapai 21.888
MW.
Kabar baiknya, tekanan publik untuk segera menghentikan
energi kotor batubara mulai direspon politisi. Terbaru adalah “proposal”
transisi energi yang disodorkan Indonesia dalam pertemuan G20 pekan lalu di
Bali.
Sejumlah negara terutama Amerika Serikat dan Jepang
menyatakan dukungan transisi energi yang adil lewat skema “Just Energy
Transition Partnership atau disingkat JETP untuk menjalankan transisi sektor
energi yang ambisius dan adil di Indonesia dengan memobilisasi dana hingga 20
miliar dolar AS dalam kurun 3 hingga 5 tahun.
Proyek pendanaan ini akan menyasar pengurangan emisi di
Indonesia salah satunya dengan mempensiunkan dini PLTU batubara atau early
retirement coal power plant. Di sisi lain Indonesia juga meluncurkan Mekanisme
Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform yang
memanfaatkan pendekatan keuangan campuran untuk mempercepat transisi dari bahan
bakar fosil ke energi ramah lingkungan.
Sayangnya komunitas masyarakat sipil mencurigai adanya
pembajak dalam proyek transisi energi ini dengan menawarkan solusi sesat atau
palsu dengan mengganti model eksploitasi batubara dengan nama gasifikasi dan
cofiring.
Karena itu, dalam aksi di Simpang Lima Kota Bengkulu, pada
Senin 21 November 2022, masyarakat di tapak menuntut :
1. Pulihkan
seluruh kerusakan lingkungan akibat tambang dan PLTU batubara
2. Tindakan
hukum bagi pelanggaran pengelolaan lingkungan (pembuangan limbah air bahang)
PLTU batu bara Teluk Sepang
3. Pulihkan
penyakit kulit yang diderita warga Teluk Sepang
4. Ganti dan
pulihkan jalan warga Desa Pondok Bakil Bengkulu Utara
5. Kembalikan
air bersih warga Pondok Bakil Bengkulu Utara
6. Ganti
kerugian Warga Muara Maung, Lahat dari banjir Sungai Kungkilan akibat
pertambangan batubara yang ugal-ugalan
7. Polres
Kabupaten Lahat untuk segera melanjutkan proses pengusutan gugatan warga atas
pencemaran lingkungan yang terjadi
8. Tutup tambang
dan PLTU batubara di Bengkulu dan Lahat. (Rls)