GUDATAnews.com, Bengkulu - Saluran Udara Tegangan Tinggi
(SUTT) yang menelan korban di Desa Babatan Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu
akhirnya dipindahkan setelah mendapat protes dari warga yang terkena dampak
proyek itu. Proses pemindahan diawali dengan pembongkaran kabel tower sejak
Minggu, 24 Juli 2022. Ada 3 tower SUTT yang dipindahkah dan per 3 Agustus 2022
tersisa 1 tower pada tahap pembongkaran.
Saluran Udara Tegangan Tinggi atau SUTT adalah saluran tenaga
listrik yang menggunakan kawat telanjang (bare conductor) di udara bertegangan
di atas 35 kVA sampai dengan 245 kVA, sesuai dengan standar di bidang
ketenagalistrikan. SUTT ini digunakan untuk transmisi listrik antar wilayah.
Listrik yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
batu bara Teluk Sepang, Kota Bengkulu dialirkan melalui SUTT ke gardu induk di
wiayah Air Sebakul. Berdasarkan dokumen Adendum Analisis Dampak Lingkungan
(Andal) dan RKL-RPL PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) proyek ini mendirikan 77
tower SUTT dan kabel sepanjang 23,2 kilometer.
Berdasarkan analisis Kanopi Hijau Indonesia tahun 2021
ditemukan ketidaktaatan PT TLB dalam pendirian tower SUTT. Ketidaktaatan
tersebut antara lain tidak ada sosialisasi tentang dampak SUTT tersebut bagi
masyarakat sekitar yang rumahnya dilalui kabel SUTT dan tidak ada pemeriksaan kesehatan
masyarakat terdampak.
Padahal dalam dokumen Adendum Andal dan RKL-RPL bab V-26
menyebutkan pada tahap konstruksi dilakukan sosialisasi kepada masyarakat yang
berdekatan dengan lokasi proyek PLTU dan jaringan transmisi 150 kVA tentang
dampak kebisingan yang ditimbulkan serta bekerjasama dengan dokter Puskesmas
terdekat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan masyarakat sebelum proyek
berjalan dan saat pendirian tower dan penarikan kabel.
Saat uji coba, warga Desa Babatan mengeluhkan dampak SUTT
tersebut setelah seorang warga yang rumahnya dilintasi kabel SUTT tersetrum
arus listrik dan terpental sekitar 5 meter hingga pingsan. Kronologinya, warga
tersebut memegang egrek atau alat pemanen sawit yang berbahan besi. Diketahui
egrek tersebut mengandung aliran listrik dari seng rumahnya.
Hal itu diketahui setelah Juanto, suami korban melakuan
pengecekan arus listrik menggunakan tespen. Setelah dicek, seng rumah dan egrek
berbahan besi tersebut ternyata telah dialiri listrik yang berasa dari SUTT
yang melintas tepat di atas rumahnya.
Dari masalah ini sejumlah warga Desa Babatan bersama tim
Kanopi Hijau Indonesia menemukan fakta di lapangan bahwa dampak yang mulai
dirasakan warga yang dilintasi SUTT antara lain suhu udara di dalam rumah
menjadi panas, barang-barang elektronik rusak, kebisingan yang berasal dari
tower, beberapa seng rumah menyala atau dialiri arus listrik saat dites dengan
tespen.
Padahal, sebelumnya, masalah ini telah dilaporkan Juanto ke
berbagai pihak mulai dari PT TLB, Polda Bengkulu, dan pihak lainnya namun tidak
ada tindak lanjut.
Merasa pemerintah tidak berpihak padanya, Juanto mendatangi
Kanopi Hijau Indonesia yang diketahuinya fokus pada isu PLTU batu bara Teluk
Sepang dan dampak buruknya. Juanto kemudian berteman dengan Kanopi Hijau
Indonesia dan melakukan riset mengenai SUTT. Dari riset tersebut bersama-sama
menuntut keadilan yang merugikan keluarganya. Permintaan Juanto dan warga
lainnya adalah tower SUTT dipindahkan.
"Saya bersyukur karena perjuangan kita membuahkan hasil,
kabar baik bagi saya dan keluarga karena tower dan kabel yang melintas di atas
rumah sudah dibongkar dan dilepas," kata Juanto.
Meski demikian ia masih khawatir atas kesehatan istrinya yang
mengalami sakit di bagian kepala setelah peristiwa tersetrum dan pingsan
tersebut. Ia berharap, tower dan kabel SUTT yang dipindakan ke tempat lain itu
tidak memakan korban batu seperti yang dialami istrinya.
Ia berpendapapat dibongkarnya dan dipindahkannya tower SUTT
tersebut sama saja dengan memindahkan sumber masalah ke tempat lain karena
jalur kabel yang baru juga tetap melintasi rumah warga.
Manager Anti Tambang Kanopi Hijau Indonesia, Hosani Hutapea
menyatakan pemindahan tower tersebut sama saja dengan memindahkan masalah ke
tempat yang baru karena jalur baru juga melintas di atas rumah warga.
“SUTT yang dipindahkan bukan solusi utama, karena bisa saja
akan menambah korban jiwa di tempat lain. Hadirnya PLTU batubara di Bengkulu
adalah masalah besar yang mengancam kehidupan manusia di masa akan datang,
karena PLTU batubara akan terus menambah laju emisi karbon yang memperparah krisis iklim global,” katanya.
Karena itu, sejak awal bersama masyarakat di Kelurahan Teluk
Sepang dan para mahasiswa serta aktivis lingkungan lainnya Kanopi menolak
proyek PLTU batu bara dan mendesak pemerintah segera beralih menggunakan energi
terbarukan demi target dan komitmen Indonesia menekan laju emisi karbon sebesar
29 persen pada tahun 2030.(Rls)