GUDATANews.com, Bengkulu - Di suatu
siang yang entah ada mukjizat apa, Sekar memulai berbicara tanpa dipancing
tanpa diminta. Dia menanyakan apa pendapatku mengenai mahasiswa yang menjadi
pembantu rumah tangga.
Saya bilang
seharusnya mahasiswa itu bangga. Langsung saya sambar dengan nasehat kepada
Sekar untuk selalu baik memperlakukan pembantu di tempat tinggalnya sekarang.
Sekar tinggal bersama kenalan Ibu nya di Bengkulu.
Kusiram lagi
dengan bagaimana pengalaman saya dahulu ketika menjadi waitress yang pada
kenyataannya diperlakukan sebagai pembantu oleh kebanyakan anak muda. Kuguyur
dengan nasehat supaya Sekar bersyukur dengan rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya.
Di satu
persentasi yang tidak terlalu bergairah di siang bolong. Ada Sekar yang berdiri
bergetar di sudut depan kelas. Tampaknya dia sangat gugup. Ini persentasi
pertamanya. Meski terbata-bata dia berhasil menyelesaikan persentasi
pertamanya.
Selama dia
berbicara banyak teman-teman yang tertawa. Tapi saya tetap menatap meyakinkan
Sekar bahwa ia pasti bisa. Sekilas sebelum selesai saya sempat melihat matanya
sembab. Mungkin sedang putus cinta,
batinku.
Setelah kelas
usai saya menghampirinya. Menanyakan perihal apa matanya sembab. Dia diam,
seperti ada ucapan yang tertahan. Saya melanjutkan spekulasi. Saya bilang ada
banyak laki-laki yang akan datang kepadanya.
Kehilangan satu
laki-laki tidak membuat Sekar menjadi mati, di luar sana ada tangisan yang meraung
meminta untuk dilanjutkan kuliahnya. Sekar menunduk. Saya pikir saya teman yang baik.
Menjelang Magrib
saya mendengar ketokan pintu. Saya sedang beristirahat sehabis pulang dari kampus
dan merapikan rumah Bibi. Saya bangkit, membuka pintu. Sekar menggendong sebuah
tas sedikit lusuh yang menggembung.
Kami masuk ke
kamarku. Matanya sembap memerah. Pandangannya sayu. Langkanya gontai. Saya
tidak mau membuka pembicaraan sebelum saya menutup rapat pintu kamarku. Klik.
Pintu kamar saya kunci.
Baru saja saya
ingin memarahi Sekar karena pikiran bodohnya yang ingin kabur dari rumah karena
putus cinta, saya tercekat. Mulut kaku Sekar gemetar, suara samar-samar yang
aku dengar.
Terdengar
seperti : Kemarin saya memecahkan gelas.
Hari ini saya memecahkan gelas lagi. Saya memang salah. Tetapi berbulan-bulan saya
sudah menahan hati dicaci maki. Walaupun paham derajat kami beda sekali, tetapi
menegur kesalahan tidak harus dengan cacian bukan. Jadi aku memutuskan berhenti
dan keluar dari rumah majikanku.
Saya membisu.
Terpaku. Jauh sekali dari teman yang baik saya ini. Kesombongan yang saya pupuk
berbulan-bulan, runtuh dengan ucapan sekali helaan dari seorang teman yang saat
persentasi saja tangannya gemetaran. Rasa bersalah saya tebus dengan pelukan
segunung kehangatan.
Pelajaran besar
yang saya sadari, berada dalam lara jangan membuat telingamu tuli atas lara
dari yang berbeda raga. Dipenuhi lara jangan sampai memupuk ria, apalagi
membandingkan lara yang kau dan orang lain rasa. Bersama-sama dalam lara
harusnya merapatkan barisan kita, untuk bersama sama menjemput asa demi masa
depan yang lebih baik. (Selesai/ Karya:
Radha Dinda Agisni)