Foto Ilustrasi: Mitradi HFA
GUDATANews.com,
Bengkulu
- Seperti halnya Bunda, kami Juga sedikit tertekan. Kami paham Bunda sangat
tertekan dengan keadaan ini. Tapi yang kami kurang paham adalah saat Bunda
menyumpah serapah kepada kami atas apa yang dilakukan Ayah.
Berhari-hari.
Berbulan-bulan. Jika ingin memilih, kami juga tidak ingin ini terjadi. Tapi
takdir Tuhan tidak satupun yang mampu meloby. Jadi kami hanya diam. Menyimpan
perasaan dalam-dalam saat teman-teman seusia kami masih sibuk main sim salabiman.
Saya sudah mampu
memahami beban besar, meskipun belum tamat
dari Sekolah Dasar. Maka saya mencoba mencari akal supaya tidak terlalu
menjadi beban bagi Bunda yang sudah cukup punya beban besar. Saya berjualan
jajanan ringan di sekolah. Mencoba melepaskan setidaknya lima ratus rupiah
beban Bunda setiap hari.
Setamat SMA,
saya tidak langsung melanjutkan kuliah. Selain karena tidak lulus tes SBMPTN,
juga karena pada saat itu keadaan perekonomian kami sedang sangat sulit. Bunda
menentang keputusanku untuk kuliah. Kakakku yang sedang menempuh kuliah di
Universitas Riau sedang membutuhkan uang yang tidak sedikit. Sedangkan untuk
makan saja kadang cukup kadang tidak.
Kalau orang lain
mengira bahwa Bunda tidak peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, adalah salah
besar. Adalah kepedulian Bunda yang terlalu besar akan pendidikan sehingga
Bunda terlilit hutang yang cukup besar untuk kedua kalinya. Juga kepedulian
Bunda adalah saksi bisu mengapa perabotan di rumah kami semakin lama semakin
sedikit.
Semakin dilarang
semakin ditentang. Salah satu sifat buruk yang kemudian membawa kebaikan dalam
diriku. Yang benar-benar bertanggung jawab terhadap kesuksesanmu adalah dirimu
sendiri, bunyi sebuah kalimat motivasi.
Maka saya memutuskan untuk tinggal di rumah Bibi di Ibu
Kota Provinsi. Pergi dengan amarah, berangkat tanpa pamit. Mencari pekerjaan
apapun untuk uang pangkal jika tahun depan lulus tes SBMPTN dan mendapatkan
Beasiswa Bidikmisi.
Rezeki Tuhan
membawaku ke salah satu rumah makan di Kota Bengkulu. Di sana aku belajar
menjadi mesin. Tidak melambat saat hujan. Tidak meledak saat panas. Pelanggan
adalah Raja. Jadilah dijadikan bahan tertawa, dianggap tidak ada, diperlakukan
seperti pelayan raja sudah biasa.
Pernah suatu
ketika, ada seorang tamu, yang dengan segala kerendahan hati aku layani dengan
ramah karena sudah seperti itu SOP yang diajarkan. Sayangnya dalam persepsi
beberapa diri, kerendahan hati hampir disamaratakan dengan menjajakan diri. (Bersambung/ Karya: Radha Dinda Agisni)