Foto: Dokumen
GUDATANews.com, Bengkulu – ‘’Semangat ya anakku!’’ begitu pesan seorang petani perempuan yang sudah berusia tua kepada anaknya yang akan berangkat mengikuti aksi damai.
Perempuan tua yang kulitnya sudah mulai keriput itu, kini telah meregenerasi semangat untuk menuntut hak keluarganya atas lahannya tak tentu lagi kondisinya,
Beberapa tahun lalu, petani perempuan tua itu masih menggarap lahan pertanian di wilayah Kelurahan Teluk Sepang Kecamatan Kampung Melayu Kota Bengkulu.
Namun, sejak adanya kegiatan pemasangan konstruksi PLTU Batu Bara di Kelurahan Teluk Sepang Kota Bengkulu, nasib petani perempuan tua tersebut tidak nyaman lagi mengolah lahannya.
Sang petani perempuan yang telah berumur senja itu, tidak bisa lagi merawat tanaman seperti dulu lagi karena telah berubah fungsinya setelah digusur.
Naasnya, lahan yang tersisa pun tak subur lagi karena telah menjadi genangan air. Ketika berjalan melintas, kita harus berhati-hati karena tanah menjadi lembut dan ada kalanya licin membuat seseorang akan terpeleset.
Akibatnya, tanaman yang tersisa pun tidak lagi sesubur tempo dulu sehingga pendapatan menjadi menurun dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Petani perempuan tua terpaksa bekerja apa saja untuk tetap mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk dirinya dan anak-anaknya.
Perjuangan menuntut keadilan telah dilakukan hingga ke pemerintah pusat di Jakarta. Tetapi hal itu belum cukup untuk memperbaiki nasib keluarganya.
Bersama ratusan petani dan mahasiswa di Bengkulu, pada Jumat 24 September 2021 lalu, anak dari petani perempuan tua itu pun ikut bergabung menggelar aksi damai di depan pintu gerbang Kantor Gubernur Bengkulu.
Sejumlah keluh kesah para petani yang telah disusun dalam bentuk narasi yang akan disampaikan kepada Sang Gubernur selaku pemimpin tak bisa diterima langsung karena Beliau tidak berada di tempat.
Untuk kesekian kalinya, kisah balada petani perempuan tua itu tak tentu penyelesaiannya. Tampaknya, perjuangan untuk memperbaiki hidup lebih baik membutuhkan waktu yang masih panjang.
Sang petani perempuan tua masih terus berharap, meski tak
tahu pasti sampai kapan harus tetap berharap. Harapan terakhirnya tinggal hanya
kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. (Ahfa)